Upacara Adat Ngasa: Tradisi yang Menjaga Kearifan Lokal dan Kelestarian Alam

Masyarakat Gandoang, Kecamatan Salem, Jawa Tengah, masih melestarikan tradisi adat Ngasa, sebuah ritual yang menjadi bagian penting dari kehidupan sosial dan spiritual mereka. Ngasa dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan sebagai bentuk penghormatan terhadap alam serta leluhur. Upacara adat ini sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat desa Gandoang dan dilakukan setiap Selasa bulan ketiga atau Maret, dengan filosofi setiap Selasa Kliwon setiap tahun. Adat Ngasa merupakan bentuk rasa syukur masyarakat kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Upacara ini juga disebut sedekah gunung, di mana masyarakat bersedekah nasi jagung dan hidangan lain yang berasal dari lingkungan sendiri.

Tempat Upacara Adat Ngasa

Tempat upacara adat Ngasa tepatnya di lereng Gunung Sagara yakni di sebuah situs yang bernama Gedong di Desa Gandoang Kecamatan Salem. Di Gedong tersebut ada gubuk atau saung yang terbuat dari bambu dan beratapkan ijuk yang mana di dalamnya terdapat artefak dan arca Hindu kuno. Selain itu juga ada situs spiritual lainnya yang dinamakan Teleng, yakni area yang memiliki lubang kecil seukurang dengan mangkok yang tempatnya juga tidak jauh dari gubuk tadi. Selain Gedong, saung, dan Teleng, ada juga Pancuran Lima dan makam Batara Guru. Pancuran Lima digunakan sebagai tempat menyucikan diri atau berwudu bagi para pendaki Gunung Sagara dan para peserta upacara adat Ngasa, sedangkan makam Batara Guru digunakan oleh masyarakat untuk berziarah dan memohon keberkahan rezeki dan kecerdasan. Tempat tempat tersebut biasa dikunjungi ketika upacara adat dan di sana pula para peserta melakukan ritual Ngukus (berdoa kepada sang sambil membakar kemenyan). Ketika melakukan upacara adat ini, para peserta dilarang berbicara sesuatu yang kotor. Peserta diperbolehkan membawa bekal atau makanan yang berasal dari alam kecuali yang berasal dari beras. Makanan khas dari upacara adat ini yaitu kejo jagong, yakni nasi yang terbuat dari jagung.

Upacara Adat Ngasa Menjaga Kelestarian Alam

Upacara adat Ngasa memiliki pengaruh yang cukup besar pada pelestarian lingkungan alam. Pelaksanaanya juga sangat memperhatikan kelestarian alam. Dibuktikan dengan aturan bahwa peserta upacara adat Ngasa tidak diperbolehkan membuang sampah sembarangan selama pendakian atau perjalanan dan juga dilarang meninggalkan sesuatu apapun di sana (sampah atau yang lainnya). Upacara adat Ngasa sekarang ini juga telah banyak perubahan dari masa ke masa. Dahulu, hanya rangkaian doa dan ritual seperti biasa, sekarang sudah diselipkan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian alam. Para peserta upacara sekarang turut diperintahkan untuk membawa minimal satu bibit pepohonan untuk ditanam di sekitar gunung Sagara atau di sekitar jalur pendakian. Hal itu agar para peserta juga ikut melestarikan alam dengan cara melakukan penanaman pohon agar hutan tetap lestari dan asri. Penanaman pohon biasanya dilakukan setelah semua rangkaian doa dan ritual adat dilaksanakan.

Pengaruh Upacara Adat Ngasa terhadap Lingkungan Alam

Selain penanaman pohon, ada juga larangan menebang pohon sembarangan di area gunung Sagara, jika ada yang melanggar maka akan diberikan sanksi. Aturan tersebut hadir setelah ada beberapa kejadian di mana para oknum yang tidak bertanggung jawab menebang pohon sembarangan di area gunung Sagara dan area pendakian yang menyebabkan hutan di area gunung Sagara menjadai gundul dan tidak asri. Alasan itulah yang menjadi sebab diadakannya aturan ini. Selain itu, masyarakat juga diberi aturan bahwa tidak boleh membunuh ataupun memburu hewan liar yang ada di area gunung Sagara. Hal ini membuktikan bahwa upacara adat Ngasa ini memiliki pengaruh yang besar pada kelestarian lingkungan alam dan ekosistem. Karena bukan hanya melakukan ritual dan berdoa saja, mereka yang ikut juga turut melestarikan lingkungan alam dengan kegiatan penanaman pohon tadi. Penanaman pohon ini juga merupakan wujud perasaan syukur kepada Tuhan atas limpahan panen yang didapatkan masyarakat dengan cara kembali melakukan penanaman pohon sebagai tanda terima kasih umat manusia kepada alam yang sudah menjadi perantara untuk hasil dan rezeki dari Tuhan untuk mereka.

Peserta upacara adat ini juga tidak hanya diikuti oleh orang tua, para kaula muda juga turut berpartisipasi. Bahkan di setiap kegiatan Ngasa, pasti selalu ada rombongan siswa sekolah menengah khususnya yang mengikuti ekstrakurikuler Pramuka turut andil dalam upacara adat ini. Mereka para kaula muda juga sangat antusias mengikuti segala tahapan ritual dan doa yang dilakukan. Para orang tua mengajak para kaula muda bukan tanpa alasan, tujuannya adalah untuk mengenalkan kebudayaan yang ada di desa Gandoang ini dan diharapkan mereka bisa menjadi penerus generasi yang nantinya akan melakukan, menjaga dan melestarikan kebudayaan ini agar tetap eksis dan tak luntur oleh zaman.

  • Sumber: X @cdk5dlhkjateng
Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *